Rm. Martin van Ooij : Lebih Nyaman di Desa

Rm. Martin van Ooij mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak terlalu tertarik untuk mengajar agama ketika hadir di suatu tempat baru. Ia lebih suka mendengarkan dan mengenali orang-orang yang dilayaninya. Dari kedekatan relasi ini sedikit atau banyak ia bisa memberi sumbangsih dalam pergulatan hidup mereka.

Tragedi G30S mengubah ritme kerjanya. Sesudah tahun-tahun krusial itu Romo Martin disibukkan oleh kegiatan mengajar agama. Di berbagai tempat banyak orang berniat menjadi anggota Gereja, akibat sikap keras pemerintah yang mewajibkan setiap orang untuk menjalankan agama yang dipilihnya. Siang malam ia mengajar kelompok jemaat di Punggur, Kotagajah, Seputih Raman, Seputih Banyak (SB) XIV, Raman Utara, Raman Aji, dan Purbolinggo.

Di beberapa tempat misalnya Seputih Banyak dan Purbolinggo sebenarnya jemaat Katolik telah ada sebelum tahun 1965. Rm. Vroenhoven adalah pastor yang banyak melayani mereka. Semenjak ada 3 pastor di Metro, daerah-daerah yang pada tahun 1968 menjadi paroki Kotagajah banyak dilayani oleh Rm. van Ooij. Sejak 1965 jumlah magangan meningkat pesat. Untuk aktivitasnya ini Rm. van Ooij diberi sebuah landrover.

Sesudah G30S ia membuka stasi-stasi baru antara lain Rumbia III dan IV, Seputih Banyak (SB) VI, SK I dan II, Bojonegoro dan Purwodadi. Beberapa daerah ini hanya dapat ditempuh dengan sepeda karena belum ada jembatan. Ia pakai jubah putihnya. Orang-orang Katolik akan tahu bahwa ia seorang pastor dan mengejar laju sepedanya. “Transmigran dari Jawa semua dianggap Islam, sehingga kami harus mencari mereka,” katanya.

Bekerja sama dengan pamong dan penduduk setempat Rm. Van Ooij membangun jembatan sederhana. “Saya bawa palu dan paku, mereka mencari kayu di hutan,” tambahnya. Bersama komunitas jemaat perdana di daerah-daerah baru tersebut ia juga membangun sejumlah kapel.

Karena tumbuhnya jumlah komunitas jemaat yang baru maka 3 pastor di Paroki Metro membagi tugas pelayanan masing-masing. Rm. Van Ooij kecuali stasi-stasi yang telah disebut di atas juga masih tetap melayani Simbarwaringin, Metro 22A dan Bantul. Rm. Vroenhoeven yang sebelum 1965 melayani Seputih Banyak dan sekiarnya, akan lebih fokus melayani stasi pusat Metro. Sementara Rm. Grein melayani Selorejo, Wonogiri dan Jojog.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, ada banyak magangan tetapi tidak ada yang mengajar. Rm. van Ooij kemudian mengusulkan kepada uskup untuk mengadakan kursus calon pendamping umat. Novisiat SCJ di Gisting masih kosong, jadi bisa digunakan. Tiap tahun hanya ada satu angkatan dengan lama kursus 1 bulan. Para pengajarnya antara lain Sukoyo, Sukarsono, Pastor Tromp. “Mungkin juga Sr. Yohani FSGM. Suster Goreti HK baru lulus 1970, jadi pasti baru bergabung tahun-tahun sesudahnya,” Rm. van Ooij berusaha keras mengingat-ingat.

Di Metro diadakan pelajaran untuk katekis pembantu setiap hari Minggu. Salah satu pesertanya adalah Widi Sutrisno, asal Seputih Banyak (SB) XIV, katekis yang banyak mendampingi jemaat perdana stasi-stasi yang kini disebut sebagai Unit Pastoral Rumbia. Para katekis pembantu ini mendapat sekadar insentif dari keuskupan. Dana didapat dari Propaganda Fide melalui Uskup Tanjungkarang, Mgr. Hermelink.

Paroki Kotagajah resmi berdiri pada 1 Agustus 1968. Tetapi para pastor yang melayaninya, termasuk Rm. van Ooij tetap tinggal di pastoran Metro sampai Januari 1970. Sebenarnya hanya sampai Juni 1969, karena ia mengambil cuti dan kursus ke Eropa. Saat kembali ke Indonesia ia minta kepada uskup untuk pindah ke paroki di desa. “Kalau harus ke Metro lagi, saya ‘mengancam’ untuk pergi ke Kanada,” kata Rm. van Ooij. Dengan berat hati Mgr. Albertus Hermelink mengabulkan permintaannya.

Ia merasa bisa melayani lebih banyak di pedesaan dan bukan sama sekali karena ketidakcocokan dengan konfraternya. Uskup dapat menerima alasannya tersebut. Dari Januari 1970 sampai Januari 1980 Rm. van Ooij menjadi pastor paroki Kotagajah dan tinggal menetap di sana.

Ada hal yang amat mengesankannya ketika ia penuh waktu malayani Kotagajah. Model berpastoral yang selama ini dijalankannya, yaitu tidak membangun sekolah atau rumah sakit, melainkan terlibat dalam hidup keseharian masyarakat, mendapat tanggapan positif. Tahun 1967 muncul ide agar para religius membuka komunitas di desa. “Tidak mendirikan apa-apa. Membangun sekolah misalnya, itu urusan pemerintah,” katanya.

Ia mendampingi Kongregasi Suster-suster Hati Kudus membuka komunitas di Seputih Banyak (SB) XIV. Waktu mereka mulai membangun rumah biara, tahun 1970, umat sekitar ikut terlibat. Orang tua membantu mencari kayu, anak-anak mencari pasir. “Saya minta suster menyiapkan satu kamar untuk membantu kalau ada orang melahirkan. Tapi tidak perlu mereka membangun klinik.” Kecuali di Seputih Banyak (SB) XIV Kongregasi HK juga mengembangkan komunitas semcam ini di Ngestirahayu.

~MAMPIR MÛI NÉ ~ 

Jadi juga aku ke Mui ne (dibaca Mu Né). Biasanya aku tak terlalu suka laut, pantai, panas sengangar matahari membakar perkampungan nelayan. Kali ini mungkin karena aku tak mau lagi berlama-lama terjebak dalam hiruk pikuk Saigon. Mungkin juga karena penasaran.

Begitu banyak informasi dengan kata kunci Mui ne, yang langsung merujuk wisata red and white sand dunes. Bisa pilih sun set atau sunrise. Kata para blogger itu, keduanya merupakan mini padang pasir, yang istimewa, yang tak dinyana ada Vietnam, yang serasa gimana… Tetapi juga harus hati-hati : Scam. Ini bentuknya lainlah, bukan pemaksaan langsung yang kasar, tapi sama menjebak. Nanti kuceritakan.

Jam 7 pagi aku sudah siap di halaman Trung Cang Hotel. Kantor agen travel Sinh Tourist numpang di halamannya. Bus yang janjinya berangkat jam 7.30 molor sekitar setengah jam kemudian. Harga tiketnya 120.000 VND. Thuy, induk semangku di Dalat menawarkan tiket lebih murah, 100 VND, tapi tidak kuambil. Intuisiku tepat. Fibiie, mahasiswi Malaysia yang sehari sebelumnya bersamaku dalam tur countryside Dalat, ambil tiket itu. Menjelang tengah hari kukontak dia dan ternyata dia belum sampai Mui Ne. “Ini bus tua,” katanya. Busku bagus.

Ada perbaikan jalan, sekitar 2 jam sesudah bus meninggalkan Dalat. Macet di situ cukup lama. Waduh, ingin aku minta waktu sebentar ke pak sopir, buat pipis. Embuh, di balik semak pinggir jalan juga nggak apa. Dingin AC membuat aku beser. Selebihnya jalanan lancar. Aspalnya mulus. Jalan berkelok-kelok indah menuruni kawasan pegunungan Lam Dong yang dipenuhi hutan pinus. Hanya aku agak heran, kenapa bus ini hampir tak pernah berpapasan dengan bus lain ? Hampir tak menemukan desa dan kota pula sepanjang 4 jam perjalanan itu. Apakah Sinh tourist menempuh jalur tersendiri, agar mata para turist dimanjakan dengan pemandangan pegunungan ini ? Bersamaku ada rombongan besar turis dari China, tua muda. Wow, benar kabar itu. Bahwa mereka adalah angkatan orang kaya baru karena ekonomi negaranya yang booming.

Jam 12 tengah hari bus berhenti di agen Sinh tourist Mui Ne. Hotel Song Huong yang sudah kupesan cuma terletak di seberangnya. Aku ingin praktis saja, karena aku toh tidak akan berlama-lama di sini. Hotel-hotel terletak hanya di satu jalur jalan Nguyen Dinh Chieu, distrik Ham Tien ini. Meski demikian lokasi agen Sinh tourist terasa sepi. Tumben. Pusat keramaian, maksudku toko-toko, fasilitas ATM, dll terletak pada bagian yang lain dari jalur jalan ini. Ketika hari beranjak sore, jalur jalan ini terasa senyap. Lampu-lampu redup. Hanya sedikit kendaraan yang lewat. Tapi karena kali ini aku menyukai ketenangan, suasana di sini sangat mendukung.

Song Huong hotel dikelola dua perempuan muda bersaudara. Yang satu sedang hamil tua, mengelola resto dan yang satu mengelola hotelnya. Ada spa juga di situ. Aku diberi kamar di samping bangunan utama, semacam bedeng yang terdiri dari 3 kamar, dengan pintu menghadap halaman yang luas. Ada teras dengan bangku terbuat dari batu marmer. Galon air minum diletakkan di meja, gratis. Ini bukan hal yang biasa di tempat-tempat wisata begini.

Masih ada waktu bagiku untuk bergabung dengan tur sunset sand dunes. Katanya kami akan dijemput jam 2. Harga tur 5 dolar, sedikit lebih murah daripada di Sihn Tourist yang 149.000 VND. Tapi, nanti dulu…, kepalamu akan diketok palu (+arit… 🙂 )di tempat lain. Secepat kilat aku makan, mandi, ganti baju.

Jeep menjemputku jam 14.30. Sopirnya seorang lelaki gempal, wajahnya lebih mirip Pinoy daripada Vietnamese. Usianya sekitar pertengahan 40-an kukira. Kacamata gelapnya tak dibuka ketika bercakap denganku. Aku tak suka sepasang mata dibaliknya. Cara dia memandang tak membuatku nyaman. Dia menyuruhku duduk di sampingya. Aku orang pertama yang dia jemput.

“Are you Chinese?”
“No, Indonesian. Why.”
“I don’t like Chinese.”

Jab yang makjleb ke ulu hati. Kasar. Terus terang. Rasis. Sambil terus memandang ke depan, ia bercerita. Banyak turis dari China datang ke tempat ini dan mereka sering menipu. Misalnya, mereka membeli kepala muda yang ditawarkan seharga 50.000 VND oleh penduduk lokal. Mereka menawar sangat rendah, 10.000 VND. Harga itu ditolak oleh penjualnya. Lantas si turis sepakat 50.000 VND. Tetapi sesudahnya, mereka membayar 10.000 VND dan langsung ngeloyor pergi. Orang kampung yang menjual kelapa muda melongo tak berdaya. Begitu katanya. Aku diam.

Tak lama berselang, dua gadis Korea bergabung. Lalu juga seorang lelaki Eropa paruh baya didampingi perempuan Vietnam, mungkin usia 30-an. Semula kukira mereka suami isteri, ternyata bukan. Belum lama berjalan, jeep berhenti di muka warung kecil. Ada jembatan sederhana, di atas sebuah aliran sungai kecil. “Fairy stream, 30 minutes,” katanya, dingin.

Kami turun melewati bagian samping warung itu. Pohon-pohon bambu menaungi sungai di bagian bawah jembatan. Yang disebut fairy stream adalah aliran sungai kecil, sedalam mata kaki di atas pasir merah lembut. Para turis berjalan menghulu aliran itu. Ada dinding batu kapur di dekat situ yang bisa jadi spot cantik untuk berfoto. Matahari menjelang senja membuat warna bias warna redup kemerahan.

Tanpa berlama-lama aku dan dua gadis Korea kembali ke jeep. Ada tambahan penumpang. Seorang lelaki tambun berkulit coklat yang disuruh menggantikan aku duduk di samping sopir, dan dua perempuan muda Filipina. Aku duduk di belakang sopir bersama dua gadis Korea. Dua perempuan Filipina dan pasangan mix Vietnam – Eropa itu akan duduk berhadapan di belakang kami. Jadi kami bersembilan. Ditunggu cukup lama, dua orang terakhir itu tak juga muncul. “Did you see them?”, tanya sopir. Akhirnya dia turun mencari kedua orang itu.

Tujuan kami selanjutnya fishing village. “20 minutes,” kata sopir. Sampai tur berakhir aku tak bertanya namanya. Malas juga berakrab-akrab dengannya. Tak ada istimewanya sama sekali tempat ini. Sebuah teluk kecil, turun beberapa meter dari jalan aspal. Di tepi jalan ada bangunan tanpa dinding. Beberapa baskom berisi ikan diletakkan di situ sebagai sampel hasil tangkapan nelayan. Weleh….

Tujuan selanjutnya adalah white sand dunes. Tempat ini agak jauh, mungkin lebih dari 30 menit berkendara. Barisan jeep pengangkut turis berpancu ke tujuan yang sama. Di sini drama scam dimulai. “ Here 50 minutes,” kata si sopir. Jeep diparkir di pangkalan ATV, tak jauh dari danau kecil di tepi jalan. Untuk mencapai bukit pasir kita harus sewa ATV. Tapi harga sewa ATV ini dikendalikan oleh si sopir jeep. Kita tak bisa tawar-menawar langsung dengan sopir ATV. Sopir jeep yang kami tumpangi mematok harga 200.000 VND per orang (gilee…), tak bisa digoyang. Mau segitu, nggak mau ya jalan kakilah sana. Sebenarnya, jeep bisa masuk sampai ke bukit pasir. Tapi ini strategi bagi-bagi rejekilah.

Satu ATV bisa ditumpangi 3 orang, 4 dengan sopir. Kita akan diantar ke bukit pasir dan nanti dijemput. Kelihatannya jauh, karena ATV akan berputar sebentar (ngebut, jadi hati-hati…) lalu mengantar kita ke kaki salah satu bukit pasir. Sebenarnya bukit pasir pertama tidak terlalu jauh dari pangkalan ATV. Kita cukup maju sedikit, belok kiri dan berjalan lurus. Sepatu tinggal saja di jeep. Tapi, kalau harus jalan sendirian yah…. Bukan capeknya sih, tapi ngilunya hati saat lihat orang lain naik ATV berseliweran.

Agak ngos-ngosan juga aku mendaki bukit pasir. Baru terasa usia sudah menanjak. Tapi sampai di atas kepenatan terbayar. Pemandangan sangat bagus. Tekstur pasir sangat halus. Warna putih kecoklatan sangat kontras dengan warna-warni pakaian, warna langit biru yang kemudian berubah kelabu gelap bercampur kuning merah keemasan candik ayu. Dari puncak bukit pasir kita bisa melihat gundukan-gundukan bukit pasir lain di kejauhan. Tak ada tenaga untuk naik turun gundukan, mengarungi hamparan luas itu. Huassyuuu. Kupikir harga 200.000 VND itu untuk bayar tur mengelilingi hamparan padang pasir ini. Rupanya cuma mengantar ke satu gundukan saja.

Aku berjalan ke ujung bukit pasir. Narsis sendirian. Tak terasa hari menjadi gelap. Agak kaget juga ketika tersadar bahwa tak banyak lagi orang di padang pasir luas ini, 20 km memanjang pada garis pantai. Di bukit tempatku berdiri hanya tinggal dua orang laki-laki, agak jauh di depan sana. Aku berjalan ke ujung yang lain. Tiba-tiba angin bertiup amat kencang dari arah samping kiriku. Pasir-pasir beterbangan, masuk telinga, mata… . Aku terpaksa berjalan menyamping. Limbung melawan hempasan. di Suara angin yang menerbangkan pasir itu seperti ribuan siulan yang mendesing di telinga. Horor, ketika kau hanya sendirian, di keluasan padang yang mulai gelap ini.

Untungnya kendaraan jemputan segera datang. Dua lelaki dengan mobil sejenis Rocky menghampiri kami bertiga. Salah satu bicara dengan bahasa Vietnam. Maksudnya kupahami, bahwa kami terlambat. Di pangkalan, jeep dan sopirnya sudah siap, begitu juga teman-teman rombonganku sudah duduk manis di kursi masing-masing. “Sorry,” kataku. Tanpa babibu lagi kami berngkat.

Kami berkendara balik ke arah semula, sejauh 24 km, red sand dunes sekarang. “30 minutes,” kata si sopir. Ia memarkir kendaraannya di tepi jalan. Kami cukup menyeberang. Red sand dunes hanya seluas 50 hektar saja. Warnanya lembut kemerahan. Banyak orang menyewakan seluncur pasir. Hati-hati dengan anak-anak yang menawarkan jasa untuk membawakan tas sementara kita bermain seluncur. Kata orang, pantai di ujung hamparan pasir ini sangat cantik. Tapi aku tak sempat ke sana.

Baru beberapa langkah berjalan, satu-satunya bule dalam rombonganku mengajak ngobrol. Dia asal Hungaria ternyata. Selalu saja aku lupa nama. Entah apa kerjanya di negaranya sana. Tapi ia cukup punya pengetahuan tentang Indonesia. “Hai, kenapa kau tak berhijab?” dia bertanya. Lantas kami bercerita tentang pengungsi Timur Tengah di Eropa, dan kecenderungan mereka yang semakin fundamentalis. Lalu tentang Rohingnya dan Indonesia.

Dua gadis Korea bergabung, tapi tak banyak ikut bicara. Kami hanya foto-foto. Tapi kenapa perempuan Vietnam yang bersamanya malah menyingkir ? Kupanggil dia. Malu-malu dia bergabung. Semula kukira dia Pinay, sebab kulitnya kecoklatan dan matanya tidak sipit. Ternyata dia Vietnamese, mengaku aslinya Saigon. Lelakinya ini orang baik, agak gimana gitu… Ramah, cerdas tapi juga agak berlebih memberi perhatian pada perempuan lain.

Tur kami menjelang usai. Dua gadis Korea ingin menghabiskan malam di sebuah restoran Korea yang cukup eksklusif dan minta diantar ke sana. Si sopir keberatan, sebab jaraknya 5 km dari titik akhir perjalanan kami petang itu. Si lelaki bule ini meminta kepada sopir untuk mengantar, “Kita harus memastikan mereka safe sampai sana…” Oyaowoh…

Jeep berhenti beberapa meter dari hotelku. Si sopir berkata, “Sorry, tak kuantar. Lihat itu Song Huong hanya 30 meter dari sini.” Tangannya menunjuk plang neon hotel yang telah menyala. Aku mengangguk, mengucap terima kasih pada semua orang di rombonganku. Entahlah, apakah 4 orang dari mereka ini akan meneruskan malam di resto Korea itu. Sempat kudengar perempuan Vietnam itu merengek manja ke lelakinya, “I don’t want to gooo…”

Badanku penuh pasir. Sesudah mandi, terasa sangat cepat malam merambat. Resto Song Huong tutup jam 10. Jalanan di depan terasa senyap. Jam 11 keesokan harinya aku telah berada di atas sleeper bus menuju Distrik satu, Saigon. ****

MLEBUNE METU NGENDI ? – WONG NDESO NONTON CASINO Genting Highland

“Mlebune metu ngendi .. , ”  kalimat tanya orang Jawa selalu yang menimbulkan senyum. Masuknya keluar dari mana, begitu kalau diterjemahkan secara harafiah. Ini konteks dua bahasa yang berbeda. Terjemahan yang tepat adalah “masuknya dari mana”. Tapi kalimat tanya itu bisa jadi adalah ekspresi kebingungan seseorang. Dan orang itu adalah aku, saat berada di tempat yang tak tepat : gegar budaya.

Genting highland, Pahang, jauh dari daftar antrian tempat yang ingin kukunjungi. Bukan tak yakin bahwa tempat itu indah dan menarik.  Cuma, rasanya, itu bukan habitatku. . Meski ada banyak sarana hiburan,  Genting terkenal dengan kasinonya. Kalau cuma udara sejuk, nge-mall, wahana permainan keluarga, hutan, dsb , itu bisa ditemukan di berbagai tempat lain, dan hampir sama saja.

Sementara sampai saat ini, aku lebih suka berinteraksi dengan alam, manusia dan budayanya yang unik, yang bisa jadi sangat berbeda dengan yang kuhayati. Nah! Ternyata aku salah kali ini ! Di Genting kudapatkan pengalaman unik. Alam yang indah dengan hawa sejuk, kebiasaan – kalau tak boleh disebut budaya –  yang sangat berbeda dengan keseharianku , dan menikmati kejutan-kejutan  gegar budaya. dan itu bisa kunikmati sambil ketawa-ketawa. Oooo.. dasar ndeso!!

Pengalaman ke Genting bermula dari ajakan travelmate-ku. “Ada promo di First World Resort. Cheeep, cheeep. Ayooo,” katanya. Kami jalan sendiri-sendiri dan berjanji bertemu di KLIA. Tetapi  tragedi penjemputan (aku mendarat di KLIA dia ngampiri di KLIA2), ditambah lagi harus mengantar kerabat ke Shah Alam, membuat menjelang tengah malamkami  baru mencapai Genting. Tapi kelelahan fisik dan hati terbayar oleh keindahan alam. Jalan berkelok-kelok,  gemerlap resor-resor terlihat di ketinggian.  Kereta gantung, perlahan bersliweran dengan  lampunya yang redup menghias langit malam. Kami akan ke sana.

Setelah memarkir mobil di basement lantai 6, terlihat sebuah pintu besi. Tanpa pikir panjang kami masuk. Kami pikir itu semacam pintu belakang bangunan ini, kalau naik sedikit kami sudah akan mencapai lobi. Ternyata eh ternyata, kami harus terus naik entah berapa tingkat lagi ke atas. Lalu kesasar ke dapur pastry. Baru di situ ketemu orang yang bisa ditanya. Mestinya tadi kami cari lift. Ooh… bego juga kami nii…!!

Gegar budaya belum selesai. Ada beberapa mesin check in otomatis di ruang lobi. Hanya ada sekitar 4 pegawai di resepsionis. Tamu-tamu ada banyak; yang baru datang, yang duduk saja, yang foto-foto, bersliweran entah apa yang dikerjakan. Lampu redup, di teras malah pohon-pohon atrifisial dihias dengan lampu warna-warni kerlap -kerlip. Itu membuat siang atau malam tak ada bedanya di sini. Kulihat travelmate-ku agak kesulitan juga dengan mesin check in otomatis. Ah, percuma toh kalau kutolong. Aku lebih gaptek lagi. Jadi lebih baik aku duduk saja. Akhirnya dari mesin sialan itu keluar juga sepotong kartu sebesar kartu kredit yang harus kami pakai untuk membuka pintu kamar dan nanti dimasukkan lagi ke mesin ini untuk check out.

Tragedi selanjutnya terjadi  di depan pintu kamar. Kartu itu kami masukkan ke slot yang ada di pintu. Setelah nyala biru muncul segera kami putar grendel pintu. Ooops.. sialan, berkali-kali begitu, tak terbuka juga pintu itu. Harus ditendangkah? Ya, aku dhewe sing bakal kejengkang… .

Selanjutnya “Aku turun ya, mau nanya pegawai di lobi tadi.  Kamu di sini saja, “ katanya. Ternyata, kartu tadi cukup di-scan saja. Tak perlu dimasukkan ke dalam slot. Kalau lampu biru sudah menyala segera buka grendel. Oh… bukan salah kami toh? Biasanya kalau ada lubang slot, ya kartu di pasang di situ, dan baru dicabut kalau pintu sudah terbuka. Ampyuuun!!!

Las Vegas-nya Malaysia

Kata orang, Genting ini Las Vegasnya Malaysia. Segala aktivitas judi tersedia. Jaraknya hanya 1 ½ jam dari Kuala lumpur tapi jika kita masuk ke dalam resor ini suasananya amat berbeda. Serasa di Hongkong atau tempat manalah di daratan China sana.  Pegawai resor ini pun kebanyakan dari etnis Chinese, ada juga sedikit etnis India, ehm.. ketemu satu atau dua tadi perempuan bertudung di gerai makanan. Para tetamu pun begitu, hampir semua etnis Chinese.

Sampai lima puluh tahun yang lampau Genting hanyalah tanah kosong yang dibeli oleh Lim Goh Tong untuk membangun mimpinya:  sebuah pusat hiburan di tempat berudara sejuk dan tidak jauh dari pusat kota. Pada awalnya banyak yang pesimis, tetapi ternyata insting bisnisnya amat baik. Sekarang Genting Highland menjadi salah satu tempat wisata terbaik Malaysia dan tentunya mendatangkan devisa yang besar. Tak terbilang resor dan tempat hiburan berdiri di sini.  Judi hanya salah satunya. Ada banyak aktivitas wisata lainnya sebenarnya.

Meski dikenal sebagai negara Islam tapi judi dilegalkan di sini. Ketika sarapan, kulihat 6 orang polisi berbaris berbanjar dua di ruang lobi. Pastilah lengkap dengan senjatanya. Harap maklum,  karena ini pusat judi perputaran uang cash sangat deras. Kata travelmateku, orang-orang dari China daratan banyak mengunjungi tempat ini, membawa segepok uang kontan, berjudi dan bersenang-senang di sini.

“Negara mereka masih menganut sistem ekonomi komunis sosialis, sementara bisnis mereka berkembang.” Dengan kata lain, banyak OKB – orang kaya baru – di sana. Dengan sistem ekonomi sosialis macam itu, mereka tak percaya pada bank yang diawasi oleh pemerintah. Kebijakan ekonomi bisa saja setiap saat merugikan mereka. Jadi lebih baik mereka menyimpan uang cash, di bawah kasur. Mereka bisa setiap saat bersenang-senang menghibur diri  di luar negeri.

Mungkin cerita ini sebuah kebenaran. Sepanjang perjalananku di Vietnam, aku selalu menjumpai orang –orang Chinese di banyak tempat. Biasanya mereka datang  dalam rombongan besar. Biarpun sama-sama berkulit putih dan bermata sipit, aku bisa membedakan mereka dengan orang Korea atau Jepang. Orang-orang China daratan biasanya akan teriak-teriak, seolah bicara dengan orang selapangan. Karena mereka datang berombongan atau mungkin karena faktor bahasa, mereka terlihat eksklusif. Ada juga perkecualiannya.

Di Genting ini, setidaknya yang kulihat di First World Resort, orang-orang dari China daratan ini datang dalam rombongan-rombongan besar juga. Kebanyakan usianya 40-an tahun ke atas.  Sebagian terlihat renta, berjalan memakai tongkat, bahkan ada yang duduk di kursi roda. Kadang dipandu oleh sesorang tur-guide dengan tongkat berujung bendera kecil menjulang ke atas. Seperti tongkat Musa. Gelombang kedatangan mereka tak terputus, 24 jam terus menerus. Ada lebih 3000 kamar di sini.

Banyak  yang terlihat familiar dengan tempat ini. Berjalan santai menyeberangi hall menuju kasino. Bagi sebagian besar orang, memang itu tujuan mereka. Sesudah sarapan, kami coba ikuti mereka. Cita-cita semula, “Bolehlah kita satu atau dua slot main di kasino….”  Haha.. cita-cita yang tak kesampian. Kami terlalu ndeso untuk terlibat dalam aneka permainan di sana. Akhirnya ya hanya putar-putar dari satu meja ke meja yang lain, menonton bagaimana para opa dan oma, OKB (oh sorry, not in the negative sense-lah) dari China daratan itu menghamburkan recehannya. Untung mereka begitu asyik terlarut dalam permainan dan tak peduli dengan dua makhluk asing yang mengintip dari balik punggung mereka. Petugas juga tak peduli dengan kehadiran kami, meski mereka cukup awas. Terbukti ketika aku mengeluarkan kamera saku, salah satu mendekati. “No, picture please,” dingin, tegas. Satu jepretan terlanjut lolos. Untung itu tak diminta untuk dihapus.

Kami keluar. Kembali ke parkiran di basement, mencoba melihat pemandangan dari ketinggian. Genting berkabut tebal sepanjang hari itu, diseling gerimis tipis. Jadi tak banyak yang bisa dilihat. Setelah putar-putar mall dan food court (yang terasa sepi), kami putuskan untuk mengunjungi Chin Swee Temple, sebuah tempat peribadatan yang dibangun oleh dato’ Lim Goh Tong dan teman-teman bsinisnya yang berasal dari Provinsi Fujian pada 1975.

Cara satu-satunya menuju ke sana dari resor ini ya naik kereta gantung, Awana Skyway. Tidak tahu stasion berada di lantai berapa. Pokoknya aku keukeuh pada prinsip, “Lu pigi  mana, gua ikut aja.” Travelmateku  tahu betul  itu. Aku  sering disorientasi kalau pergi-pergi. Sebenarnya mungkin tidak sebodoh itu juga sih. Aku bisa backpacking ke mana-mana sendiri. Alhamdullilah, aman kok. Dulu sebelum ada google map, aku biasa bawa kompas dan peta (wuih… pramuka banget) dan memperhatikan gedung, pengkolan, pohon, dsb sebagai penanda. Tapi kalau ada temannya, aku cenderung  malas berpikir. Eman-eman, aku milih ngepenakke awak, hehehe…

Kami membeli tiket terusan yang harus dipindai setiap  masuk stasiun demi stasiun. “Ini tiketmu, jangan sampai hilang atau kau tak bisa pulang,” ancam si travelmate. Dia nyelonong berjalan duluan. Baru beberapa langkah, “Sinih  tiketmu, aku aja yang bawa. Kalau hilang, aku lagi yang repot.” Lantas dia mengungkit-ungkit kisruhnya titik pertemuan kami di bandara kemarin. “Lho… kan, kamu juga yang salah baca tiketku…” Dia  ketawa, takut membuka front pertempuran lagi.

 

 

 

 

 

Cerita Rian Ernest Saat Menjadi Staf Ahok dan Anies Baswedan

Aneka Info Unik

Rian Ernest bersama Ahok dan Anies Baswedan Rian Ernest bersama Ahok dan Anies Baswedan. (Istimewa)

Anekainfounik.net. Rian Ernest, salah satu staf dari Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di bidang hukum pemerintahan menceritakan pengalamannya saat menjadi ‘staf’ dua cagub yang kini bertarung menjadi DKI 1, Ahok dan Anies Baswedan.

Rian sempat mengabdi sebagai guru selama setahun (2011 sampai 2012) di Pulau Rote, NTT, dalam suatu gerakan relawan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies. Ia juga pernah membantu mantan Mendikbud itu yang ditunjuk Jokowi sebagai anggota Tim Transisi sebelum resmi dilantik menjadi presiden pada 2014

Salah satu anggota tim penasihat Ahok dalam kasus penistaan agama ini beda gaya kepemimpinan keduanya dalam tulisan di Kompasiana.com.

Berikut tulisan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini

Catatan “Jongos” Dua Cagub DKI

“In matters of style, swim with the current; in matters of principle, stand like a rock.” —Thomas Jefferson

Tulisan ini bertujuan supaya membagikan apa yang saya ketahui, dari kacamata seorang jongos…

Lihat pos aslinya 1.969 kata lagi

Société des Missions Etrangères de Paris, Bertumbuh Bersama Gereja Lokal

Imam Diosesan, Giginya Uskup

Imam diosesan itu ibarat giginya uskup. Demikian Pastor M. Dwijowandowo, pernah menulis dengan gaya yang renyah. Maksudnya dengan memiliki sejumlah imam diosesan, uskup mempunyai kekuatan untuk menjalankan karya penggembalaannya sebab para imam diosesan akan bekerja secara menetap di keuskupannya dan di bawah pimpinannya.

Tetapi karena berbagai kendala tidak selalu mudah bagi sebuah keuskupan untuk mendidik dan memiliki imam diosesannya sendiri. Di Keuskupan Tanjungkarang, tahun 1968  Rm. Marselinus Dwijowandowo ditabiskan sebagai imam diosesan pertama. Lama kemudian baru ditahbiskan satu lagi imam diosesan pribumi.

Memasuki tahun 1970-an jumlah umat semakin berkembang.   Tenaga imam SCJ yang selama ini berkarya di Keuskupan Tanjungkarang dan Palembang pun terbatas. Mungkin hal-hal tersebut  menjadi  alasan Mgr. Albertus Hermelink Gentiaras SCJ meminta tenaga Serikat Misi Imam-imam Praja dari Paris atau dikenal sebagai MEP untuk berkarya di Lampung. Menjelang penghujung dekade 1970-an uskup pertama keuskupan Tajungkarang itu mendapat balasan surat dari pimpinan MEP bahwa untuk Lampung akan dikirim 4 orang misionaris. Mereka adalah Vincent le Baron (31), Paul Billaud (32), Joseph Gourdon (33) dan Ferdinando Pecoraro (57).

mep2b0012bmodified1

  • Berdiri kika : Jo Gourdon, Vincent le Baron dan Paul Billaud. Duduk : Ferdinando Pecoraro.
  • Foto 1978

Begitu membaca usia Pastor Percoraro yang uzur untuk ukuran seorang misionaris, Mgr. Hermelink menolaknya. “Tiga pastor yang muda dipersilakan datang,” tulisnya dalam surat. Pasti tidak mudah untuk orang yang berusia hampir 60 tahun untuk menyesuikan diri dan berpastoral di tempat baru, meski sebelumnya ia memilki “track record” yang luar biasa hebat sebagai misionaris di Tibet dan Taiwan.

Pastor Pecoraro bisa memahami penolakan itu. Tetapi 3 pastor muda itu menolak datang ke Lampung jika Pastor Peco tidak bersama mereka. “Peco itu payung kami. Dia diterima, atau tidak satu pun dari kami yang berangkat,” demikian suatu saat Pastor Vincent Le Baron bercerita tentang peristiwa hampir 40 tahun lalu itu. Mgr. Hermelink mengalah. Mereka berempat akhirnya tiba di Lampung pada 18 Maret 1978. Selama tiga bulan mereka mengenali keuskupan Tanjungkarang dan selama 6 bulan selanjutnya mereka mempelajari bahasa Indonesia di Bandung. Awal 1979 mereka kembali ke Lampung dan mulai bekerja untuk Keuskupan Tanjungkarang.

Pastor Pecoraro, yang tertua di antara mereka dan biasa dipanggil Simbah oleh umat,  berkarya di Paroki Katedral Tanjungkarang.  Ia kemudian menjadi Vikaris Jenderal atau wakil uskup, Mgr. Andreas Henrisoesanta. Usia lanjut tak mengahalanginya untuk mendatangi umat di desa-desa terisolir dalam wilayah paroki ini. Ia menghabiskan sisa usianya di paroki Tanjungkarang, sampai akhirnya penyakit kanker hati dan pankreas mengantarnya pada ajal, 26 januari 2002 di Charmauvillers, Perancis.

Pastor Vincent le Baron ditunjuk untuk bekerja di Paroki Kotagajah dan Pastor Joseph Gourdon di Paroki Pringsewu. “Kami berempat tidak bisa tinggal bersama dalam satu rumah,” kata Pastor Jo suatu saat. Ia melanjutkan sambil tertawa kecil, “ Vincent dan Paul bertengkar terus kalau tinggal bersama. Hanya masalah sepele. Misalnya Vincent merokok, abunya tercecer di mana-mana. Atau ia masak mie, bungkusnya tidak dibuang di tempat sampah. Paul orang yang selalu rapi. Dan Peco, tahu sendiri, seperti itu orangnya.”

Mungkin mereka masing-masing punya karakter mandiri yang unik.  Mereka tidak hidup berkomunitas dengan sesama pastor MEP, melainkan membentuk kolegialitas dengan imam-imam yang lain. Mereka sepenuhnya mengabdi kepada umat keuskupan di mana mereka berkerja di bawah wewenang uskup setempat.

Kehadiran keempatnya memberi warna baru bagi Gereja Lampung. Sebelumnya umat hanya mengenal para pastor religius dari kongregasi SCJ. Sekarang umat mengenal lebih dekat sosok seorang imam projo dengan gaya komunikasi dan pastoral yang berbeda. Memang sebelum mereka datang, di Keuskupan Tanjungakarang pernah berkarya dua pastor projo MSP dari Filipina. Tapi mereka tidak lama bekerja di Lampung.

Mengenal Serikat MEP

Société des Missions étrangères de Paris atau MEP didirikan  tahun 1658 berdasar pemikiran Alexandre du Rhodes SJ untuk menanggapi situasi misioner zaman itu. Kerajaan Spanyol dan Portugal menguasai berbagai belahan bumi. Dengan kekuasaan yang sangat besar tersebut kedua kerajaan itu memonopoli penyelenggaraan karya misioner dan seringkali hanya seturut cara yang menguntungkan mereka sendiri. Dengan situasi semacam ini dibutuhkan suatu  presbiterium yang terdiri dari klerus sekulir pribumi dan juga dipimpin oleh hirarki pribumi. Dengan demikian uskup dan imam setempat dapat berkarya secara lebih sempurna, tidak bergantung kepada dua kerajaan itu.

Beberapa orang di Perancis sepakat untuk menjalankan model misi di bawah bimbingan langsung Tahta Suci, tanpa bergantung kepada dua kerajaan tersebut. Untuk itu Vatikan mengangkat François Pallu, Pierre Lambert de la Motte dan kemudian Ignace Cotolendi, anggota pertama serikat MEP, sebagai Vikaris Apostolik yang akan diutus ke Asia. Tahun 1659 Propaganda Fide menyerahkan kepada mereka pedoman pokok karya misioner mereka.

Beberapa kutipan antara lain : Janganlah berusaha untuk meyakinkan bangsa-bangsa agar mereka mengubah kebiasaan dan adat mereka kecuali kebiasaan itu bertentangan dengan moral. Sebaliknya para anggota serikat MEP diminta agar mendorong bangsa-bangsa di tempat mereka berkarya untuk mencintai dan menjunjung tinggi tradisi mereka sendiri. Mereka hanya membawa iman kepada bangsa-bangsa dan tidak sama sekali “memindahkan Perancis, Itali, Spanyol, dll ke salah satu negara lain.”

Tahun 1660 Mgr. Pallu, Mgr. De la Motte dan Mgr. Cotolendi bersama beberapa imam sekulir berangkat menuju Asia. Mereka harus berjalan kaki sebab Portugal menolak membawa mereka dengan kapal-kapal mereka, sementara pemeritah kolonial Inggris dan Belanda menolak misionaris Katolik. Selama berbulan-bulan mereka berjalan berkelompok melewati Irak, Iran, dan India. Ada juga yang mencapai Thailand, Vietnam dan China. Beberapa anggota meninggal dalam perjalanan.

Mgr. Pallu bersama empat imam dan dua awam dapat mencapai Bantam (sekitar Jakarta sekarang). Merekalah yang mengawali karya misi MEP di Indonesia. Kerena Perancis dan Belanda bermusuhan waktu itu, rumah mereka ditutup pada tahun 1684.

MEP dicatat dalam sejarah Gereja Indonesia sebagai serikat misioner pertama yang menanamkan iman Katolik di antara kaum pribumi. “Upaya pertama untuk bermisi di antara orang Indonesia pribumi tidak dilaksanakan oleh imam-imam Belanda tetapi oleh imam-imam Perancis.  Pada tahun 1824 sekitar 30 budak dan mantan budak dibawa dari Nias oleh para saudagar China. Di Penang mereka dibaptis oleh seorang imam dari Société des Missions étrangères de Paris. Setelahnya, dua orang imam muda, Jean-Pierre Vallon dan Jean-Laurent Bérard berangkat ke Nias. Ditemani seorang katekis asal Nias dan isterinya mereka tiba di Gunung Sitoli pada Maret 1832. Kedua imam itu meninggal karena demam. Dua orang anggota Serikat MEP diutus untuk menggantikan mereka. J.J. Candhal dan A. Galabert tiba di Padang pada 1834. Mereka menghadapi kesulitan dalam hal politik dan administratif dengan pemerintah kolonial Belenda. Pada April 1835 mereka terpaksa meninggalkan Padang.” (Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik Indonesia jilid I, Ledalero, Maumere, 2006, hlm. 33-35).

Jaman telah berganti. Negara-negara di Timur yang dulu merupakan tanah jajahan telah merdeka. Yang dulu merupakan tanah misi kini telah berdiri  hirarki pribumi yang mandiri. Itulah memang yang dicita-citakan para pendiri MEP. Tujuan pokok pendirian MEP sudah tercapai. Sesorang mengatakan, “Tampaknya MEP didirikan untuk menghapuskan diri. Mereka memandang diri berhasil jika pelayanannya tak dibutuhkan lagi !” Jawab mereka, “Dipandang dari segi tertentu, memang demikianlah.”

Saat ini masih ada lebih dari 200 imam MEP yang berkerja di berbagai negara,  menemani para imam setempat di bawah pimpinan uskup di mana mereka berkarya. Di tempat-tempat tersebut mereka berusaha agar panggilan biarawan-biarawati dan imam diosesan tumbuh subur. Meski panggilan imamat di Perancis bahkan Eropa sudah amat jarang, mereka tidak menerima anggota dari negara di mana mereka bekerja.  Tetapi mereka bersedia membantu imam-imam diosesan yang akan melanjutkan studi di Perancis demi pelayanan kepada keuskupan mereka sendiri.

Dalam buku kecil peringatan 350 tahun berdirinya serikat MEP, mereka mengajukan pertanyaan reflektif kepada diri sendiri. “Apakah serikat ini masih berguna ?” Kalau pertanyaan ini diajukan kepada umat Keuskupan Tanjungkarang, tentu akan dijawab secara positif. Tidak berlebihanlah kiranya jika segenap umat Keuskupan Tanjungkarang mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka di Lampung. Lewat pemberian diri yang tulus mereka telah menjadi benih-benih awal tersemainya panggilan imam diosesan di Lampung.

Romo “Simbah” Peco, Romo Jo, Romo Vincent, dan Romo Paul : mercy beacoup, terima kasih, matur nuwun. Romo Peco telah hidup dalam damai surgawi. Semoga romo bertiga tetap gembira berkarya, melewatkan masa tua, menemani kami  di bumi Ruwa Jurai ini. ***

*) Bagian kedua tulisan ini disadur dari buku kecil peringatan 350 tahun berdirinya Serikat MEP dan sumber lain. 

 

 

 

 

 

JEJAK REKSA SANG GEMBALA

Ia seperti gembala sesungguhnya. Lereng dan lembah  Bukit Barisan dijelajah. Menghilir Sungai Tulangbawang,  dan menyisir jalan-jalan berlumpur di pedesaan translok  biasa dilakoninya. Segala cara ditempuh,  naik mobil, membonceng ojek, bahkan berjalan kaki selama berjam-jam. Energinya tak pernah surut untuk menemui umat yang dipercayakan dalam reksa pastoralnya.

Menemui dan berdialog dengan umat di stasi, itulah salah satu sumber energi kegembiraan almarhum Mgr. Henrisoesanta. Antara tahun 1995 – 1999 ia sangat intensif mengadakan visitasi pastoral. Berangkat dari Bandarlampung Jumat sore  dan kembali pada Senin atau Selasa, bergantung dari jauh dekatnya dan sedikit atau  banyak kelompok yang harus dikunjunginya.

Tema dialog dengan kelompok umat bisa beragam, tentang visi dasar pastoral Keuskupan Tanjungkarang, katekese, sosial politik ekonomi, sampai masalah ringan misalnya tentang muda-mudi yang “loncat pagar”.  Ia selalu mencatat pertanyaan-pertanyaan umat itu dalam buku tulis tebal, yang  dibawanya dalam setiap kunjungan. Berikut beberapa catatan tentang kunjungan almarhum uskup emeritus itu.

Membonceng Rm. Janto menuju stasi way Kambas, 1997

Jatuh di Suwoh

Sampai  1999 Unit pastoral Liwa merupakan salah satu wilayah dalam keuskupan Tanjungkarang yang medannya cukup berat. Pada bulan September Mgr. Henrisoesanta terjadwal untuk mengunjungi Suwoh, sebuah stasi yang terletak di cekungan pegunungan Bukit Barisan. Mgr. Henri selalu bangga pada stasi ini karena kemandirian umatnya selama sekian tahun ngumbul–  merintis perladangan baru – di tempat terpencil  tetapi  mampu mempertahankan iman tanpa kehadiran pastor.

Saat itu merupakan kunjungan uskup yang kedua ke Suwoh. Lima tahun sebelumnya, 1994,  Suwoh merupakan tempat yang cukup parah dilanda gempa tektonik. Desa subur penghasil kopi itu total terisolir. Untuk sampai ke sana orang harus naik helikopter, kuda atau berjalan kaki. Naik motor juga bisa tetapi tidak lebih cepat atau lebih aman, karena jalan tanah sangat buruk dan terputus di beberapa tempat.

Dalam perjalanan yang kedua itu, Mgr. Henri bercerita tentang pengalamannya lima tahun sebelumnya. Bersama rombongan kecil di bawah pimpinan Rm. Vincent le Baron, ia bermaksud mengunjungi Suwoh. Perjalanan  paling cepat dapat ditempuh dalam 8 jam. Setelah beberapa jam berjalan kaki, Rm. Baron memaksa Mgr. Henri untuk membonceng motor. Dipanggillah tukang ojek berjuluk Si Teler. “Dia crosser paling handal, Bapa Uskup,” kata Rm. Baron.

Mgr. Henri pasrah. Tetapi apa daya, di tengah perjalanan motor itu jatuh. Mgr. Henri dan si Teler terbanting. Rm. Baron dengan enteng berkometar, “Bapa Uskup, kalau tidak jatuh, belum ke Suwoh namanya.” Mgr. Henri bercerita sambil tertawa, menganggap hal itu sebagai sesuatu yang menggelikan.  Mungkin pengalaman itu membuat ia pernah terpikir untuk membelikan seekor kuda untuk Rm. Baron.

Tahun 1999 kondisi jalan sedikit lebih baik, meski belum diaspal, dan tetap rawan longsor. Jam 8 pagi rombongan kecil bapa uskup bertolak dari Sekincau. Tengah hari rombongan tiba di Dusun Sri Mulyo, Suwoh,  dan bertemu dengan kelompok umat di sana. Mgr. Henri  masih mengingat beberapa perintis jemaat. Ramah ia menyapa, “Panen menapa Pak Bibit ?”  Yang disapa menjawab, “ Dereng panen, Monsinyur.” Tanpa senyum Mgr. Henri menimpali, “Lha panjenengan niku asmane Bibit, dados mboten panen-panen.” Orang yang mendengar cakap akrab itu tersenyum.

Malam itu rombongan  menginap di rumah umat di Talang Gendung, sebuah tempat yang lebih “mblusuk” dibanding Suwoh. Tempat itu masih bisa dicapai dengan mobil tapi jauh lebih lambat daripada dengan sepeda motor atau kuda. Mgr. Henri  memilih membonceng motor. Desa umbulan itu berpenghuni 25 keluarga dan hanya 5 keluarga yang Katolik.

Malam hari selepas misa, penduduk non-Katolik ikut makan malam bersama dan berdialog dengan uskup. Mereka bercerita tentang bagaimana mereka merawat instalasi air bersih sederhana  yang beberapa tahun sebelumnya dibangun bersama Rm. Baron. Mereka bertanya, bagaimana pandangan uskup tentang kepemimpinan perempuan dalam politik bernegara, dan berbagai masalah sosial lain.

Memasyarakat dan Loncat Pagar

Antara tahun 1995 – 1999 seluruh paroki / unit pastoral di Keuskupan Tanjungkarang mendapat jatah kunjungan Mgr. Henri . Diawali tahun 1995 kunjungan kepada kaum muda dan tahun 1997 kunjungan kepada keluarga. Dilanjutkan tahun 1998 kepada kaum muda dan tahun 1999 kepada keluarga lagi. Tahun 2000 tidak ada kunjungan kepada kelompok umat karena kegiatan lebih terfokus kepada perayaan Tahun Yubileum Agung.

Bisa dikatakan penghujung dekade 90-an itu merupakan tahun-tahun yang sarat dengan permasalahan politik. Orde Baru sangat kuat menancapkan kuku kekuasaannya dan pada 1998 KWI mengeluarkan Surat Gembala KWI, yang bagi sebagian orang dinilai sangat berani bahkan kontroversial. Maka dalam dialog umat dengan Mgr. Henri permasalahan politik dan sosial sangat  sering mengemuka. Misalnya, bagaimana menyikapi tekanan pemerintah tentang adanya target pemenangan pemilu sementara Gereja memberi arahan agar orang Katolik selalu berpedoman pada hati nurani dan kebenaran.

Menghadapi hal-hal semacam itu Mgr. Henri tak jemu-jemunya mengingatkan umat Katolik untuk melaksanakan hasil-hasil Perpas Gelar II yang dilaksanakan tahun 1992. Dalam peristiwa itu dihasilkan lima butir kesepakatan yaitu paradigma baru, dialog, keterbukaan, memasyarakat dan nilai penebusan atau semina verbi. Memasyarakat menjadi butir penting untuk berperan serta dalam aktivitas bernegara.

Menanggapi penjelasan Mgr. Henri,  seorang pemuda di suatu stasi  berkata, “Kami orang muda sudah memasyarakat, tapi hasilnya malah justru banyak yang murtad.” Anak muda lain yang menimpali, bagaimana mereka akan memasyarakat, jika di antara mereka sendiri tidak kompak. Ada juga yang merasa pesimis, “Bagaimana kami mau memasyarakat jika baru keluar saja sudah disindir dengan kata-kata nylekit.”

Kepada mereka Mgr. Henri selalu memberi dorongan agar tetap membaur, ambil bagian dalam bidang ilmu, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan (ipoleksosbudhankam), karena itulah bidang panggilan khas kaum awam. “Masuklah KNPI, Pemuda Pansasila, FKPPI dan berbagai ormas lain atau  organisasi politik,” kata Mgr. Henri selalu.  Ia tidak menolak bahwa ada tantangan. Tapi di situlah justru kaum muda Katolik diharapkan menjadi garam atau matahari. “Iman Katolik itu seperti matahari,  menerangi  tanpa memilih-milih.”

Di luar politik, salah satu hal yang banyak dibicarakan umat adalah tentang kawin campur atau bahkan anak muda Katolik meninggalkan imannya. Tidak peduli orang tua atau orang muda sering membicarakan hal ini kepada Mgr. Henri. Menurut almarhum uskup emeritus itu, dalam kawin campur berarti seseorang membawa duri dalam daging, atau menyimpan potensi konflik dalam perkawinan mereka. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah memasyarakat.

“Memasyarakatlah, mungkin nanti kalian bisa ketemu jodoh, eh…ada seorang Katolik yang menarik di sana. Juga dengan bergaul dengan banyak orang kalian akan tahu perbedaan mendasar dengan mereka dan iman kalian bertambah kuat.” Memang betul Gereja bisa memberi dispensasi terhadap perkawinan campur. Tapi dispensasi hanyalah kelonggaran hukum yang tidak bisa menjamin iman Katolik seseorang akan berkembang dan berbuah.

Beberapa orang tua mengenang masa keemasan RKPK sekitar tahun 1980-an di mana kaum muda Katolik aktif dalam berbagai kegiatan olah raga dan seni antarmereka sendiri. “Banyak pemuda dan pemudi Katolik ketemu jodoh di acara itu,” kata mereka. Beberapa dari mereka mempertanyakan kepada Mgr. Henri apakah mungkin acara-acara seperti itu dapat dilaksanakan lagi.

Tetapi menurut Mgr. Henri saat itu (tahun 1990-an)  sudah tidak tepat lagi hidup secara eksklusif seperti itu. “Tidak ada sepak bola Katolik, tidak ada duwit Katolik,” kata uskup. Membaur, hidup inklusif, ambil bagian dalam setiap aktivitas bernegara, membangun persaudaraan sejati dengan semua orang, itulah hal penting yang ingin ditekankan Mgr. Henri dalam butir memasyarakat yang dihasilkan oleh Perpas Gelar II.

Adakalanya perbincangan dengan kelompok keluarga bukanlah hal-hal yang berat-berat, tetapi hal-hal praktis menyangkut kehidupan sehari—hari mereka misalnya tentang sulitnya izin mendirikan atau merehab kapel atau pendidikan agama anak-anak. Bahkan di stasi pedesaan ada pertanyaan yang unik, misalnya bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang inseminasi buatan. Sebisa mungkin Mgr. Henri menjawab dengan kalimat sederhana tapi mengena.

Tak Pernah Menolak

Mgr. Henrisoesanta sering dikesankan sebagai seseorang yang tegas, kaku, mahal senyum. Sebenarnya kalau kita sudah mendekat,  ia tidaklah seseram itu. Hidupnya sangat teratur memang. Segala aktivitasnya seakan terjadwal.  Tubuhnya seperti  punya alarm alami, jam berapa bangun pagi, berdoa, makan, minum, bekerja dan istirahat. Tetapi dalam kunjungan ke stasi-stasi jadwal rutin bisa saja berubah demi bertemu umat.

Di rumahnya,  Mgr. Henri bekerja sampai jam 1 siang, lalu makan, dan beristirahat. Jam 4 sore mulai bekerja lagi atau menerima tamu-tamu, diawali dengan berdoa. Jam 11 malam biasanya ia akan beristirat. Dalam kunjungan ke stasi-stasi tak ada istirahat siang. Pertemuan dimulai pagi hari dan terus berlanjut sampai malam. Selama itu nyaris tak ada keluhan kesehatan atau kelelahan.

Uniknya, jam berapapun ia berangkat tidur, tetap saja ia bangun saat subuh. Dalam suatu rangkaian kunjungan ke Mesuji, rombongan uskup emeritus  baru pulang ke pastoran jam 11 malam. Jalanan buruk, dan mobil pastoran Mesuji rewel di jalan.

Sesampai pastoran belasan umat sudah menunggu. Keluarga koster mengatakan bahwa mereka bersikeras untuk bertemu uskup dan tidak mau disuruh pulang. “Baik, saya akan temui mereka sebentar,” kata Mgr. Henri. Tidak ada rasa jengkel terpancar di wajahnya. Ternyata pembicaraan tidak bisa sebentar. Sekitar jam satu malam, Mgr. Henri baru bisa beristirahat.

Keesokan paginya, anggota rombongan kecil kami sengaja bangun agak siang, karena tidak ada jadwal pertemuan lagi. Sekitar jam 7.30  pastor kepala Unit Pastoral Mesuji, Rm. Suhendri, membangunkan tiap orang dan mengajak sarapan. Mgr. Henri tidak ada di kamarnya. Ditunggu di ruang makan, akhirnya ia muncul dari gereja di samping pastoran. “Saya bangun subuh tadi dan berdoa di gereja. Saya pikir kalian akan  menyusul. Ternyata tidak,  maka saya misa sendiri.” Kami yang hadir  di ruang makan hanya membalas dengan, “Hahahaha… .” Ia tidak dingin dan kaku  seperti yang diduga banyak orang.

Beristirahatlah sekarang dalam bahagia kekal Bapa Uskup Henrisoesanta.   Kami akan bekerja meneruskan apa yang telah engkau awali dengan sangat baik. ***

 

 

 

 

 

JEJAK SANG GURU

Mengajar adalah salah satu sumber kegembiraan Almarhum Mgr. Andreas Henrisoesanta (1933 – 2016) Sampai menjelang tahun 2000 setiap hari Jumat ia mengajar agama di SMP Fransiskus Pasir Gintung dan dilanjut di Universitas Lampung. Sebulan sekali ia mengajar para novis FSGM dan suster-suster yunior Hati Kudus. Ia  masih turun gunung, seminggu sekali mengajar katekese calon baptis di gereja katedral Tanjungkarang. 

Presentation1

Sepulang dari studi di Roma pada 1966, Mgr. Henrisoesanta, waktu itu masih dipanggil sebagai Pastor Henri, menjadi guru dan kemudian kepala sekolah di SMA Xaverius Pahoman. Selain agama dan budi pekerti ia juga mengajar bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Ia seorang poliglot. Meski memegang ijazah doktor hukum gereja, ia tak canggung mengajar anak kecil. Ketika menjadi pastor kepala paroki kedaton, ia bahkan mengajar agama di SD Sejahtera.

Muridnya tak terbilang lagi banyaknya. Kebanyakan mereka mengatakan Mgr. Henrisoesanta mengajar dengan sistematis dan menarik. Ada pula yang mengatakan bahwa ia sedikit pelit dalam memberi nilai. Tapi ada kesan yang hampir sama dikatakan yaitu bahwa Mgr. Henri adalah guru yang tegas, keras bahkan. Ya, sesekali bisa melucu tapi tetap tak menghilangkan kesan kaku.

Ia bukan guru yang lugu, yang tak tahu jurus tipu-tipu para murid. Selembar arsip naskah kotbah misa reuni SMA Xaverius Pahoman pada 1990 membuktikannya. Dalam teks itu Mgr. Henri bercerita tentang peristiwa 20 tahun sebelumnya. Pada suatu hari raya Tionghoa, seorang guru menghadap padanya. Di sebuah kelas hanya 5 anak memakai seragam, sisanya berpakaian bebas.

Kepada guru tersebut  pastor Henri menginstruksikan agar 5 anak tersebut diberi pelajaran, dan sisanya diperintahkan menuju  aula. Di aula Pastor Henri memberi mereka pelajaran khusus, yaitu bahasa Inggris, bahasa Jerman dan agama / budi pekerti. Tanpa jeda, mereka hanya boleh meninggalkan kelas untuk izin ke toilet saja. Jam 9 pagi di luar gerbang ada suara klakson dengan irama khusus, tapi pastor henri tidak peduli. Para “sandera” tak berdaya. Baru pada pk. 12 mereka dibolehkan keluar berdua-dua. Tiba-tiba seseorang berteriak, “Gagal, gagal, kalah!”

Beberapa hari kemudian skenario itu terungkap. Para murid sepakat untuk pergi ke pantai. Itu hari raya Tionghoa, mungkin Pechun,  tapi bukan tanggal merah. Mereka berharap agar anak-anak yang tidak pakai seragam dipulangkan. Seterusnya 5 anak yang memakai seragam seminta  pulang juga karena tak berminat belajar.

Dalam mengenang peristiwa tersebut Mgr. Henri mempertanyakan kepada mantan muridnya yang sedang merayakan reuni, mengapa orang mau bergembira kok dihalangi. Selanjutnya tulis Mgr. Henri, “Orang muda berwatak dinamis, ingin belajar, mau mengembangkan diri tapi perlu pengarahan agar sampai pada tujuan. Sebagai guru diperlukan kesabaran dan harus bisa menghadapi benturan. ”

Pada saat itu Mgr. Henri, menutup kotbahnya dengan kalimat-kalimat yang menyentuh hati. “Pada kesempatan reuni ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya atas tindakan dan kata-kata saya selama mendidik Saudara di SMA Xaverius; yang menyakitkan, yang menjengkelkan atau menghalangi keinginan Saudara. Saya akui keterbatasan dan kekurangan saya, misalnya terlalu keras, terlalu tertib, kurang kebijaksanaan, dsb. Mudah-mudahan yang jelek dan menyusahkan itu tak disimpan di dalam hati. Yang baik dan berguna saja yang dimekarkan.”

“Terimakasih, kalian pun sudah mendidik saya. Kita saling mendidik dan memberi, saling memperkaya kehidupan. Keberhasilan kita tergantung pada banyak faktor dan banyak orang. Terima kasih kepada Allah, kepada manusia dan lingkungan. Mudah-mudahan reuni meningkatkan kekayaan kita akan bidang rohani, sifat tertib, jujur, kerja keras, juga sabar dan tahu batas. Dengan itu semua kita ikut membangun bangsa dan negara kita, “ demikian Mgr. Henrisoesanta.

Rupanya Almarhum  Uskup  Keuskupan Tanjungkaranng itu sadar bahwa ia sering dicitrakan sebagai orang yang keras. Perjalanan hidupnya sebagai anak transmigran bisa jadi membentuk karakternya. Hidup tentu tak mudah baginya,   berpindah tempat untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dan berpindah sekolah untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi. Menjalani  peralihan dari zaman penjajahan ke masa revolusi kemerdekaan dan kemudian ditahbiskan sebagai uskup pribumi pertama. Ia harus  mengubah pola pikir orang dan mengimplementasikan dalam reksa pastoralnya. Pasti butuh kesabaran, ketegaran dan seperti ditulisnya sendiri, dan kadang kala, berani menghadapi benturan.

Orang tuanya, Yacobus Samadi Kasandikrama dan Jacoba Wasijem meninggalkan Ngijorejo, Gunung Kidul, DIY,  untuk ikut transmigrasi di Metro pada tahun 1939. Dusun yang terletak beberapa kilometer menjelang kota Wonosari pada waktu itu kurang subur, keras  berbatu cadas. Tanah kelahirannya mungkin memberi sedikit pengaruh. Maka, bisa jadi ia adalah jembatan batu kokoh yang mengantar kita,  generasi gereja yang lebih muda,  menyeberang ke masa depan yang lebih baik. Requiscat in pace Mgr. Andreas Soewijata Henrisoesanta.***

Sharing…..

Caring….

Perhelatan Pengantin Lampung Tempo Doeloe

Saya menemukan foto-foto menarik tentang pengantin Lampung tempo dulu. Sembilan foto ini diletakkan dalam satu halaman album kuno, berbanjar 3, masing-masing berukuran 6 x 6 cm dan tidak  bertannggal. Saya  menduga foto-foto ini berasal dari dekade akhir 1940-an. Lihat saja model pakaian para pengiring pengantin, yang bawa bendera itu lho. Pakaian seperti itu meniru model pakaian yang biasa dipakai Bung Karno. Duh, uniknya perarakan pengantin kok didahului pembawa bendera….  Mungkin karena baru saja usai revolusi, jadi terasa patriotik.

Nampaknya pemilik album foto ini (mbah gue, huehehehe…..) menangkap peristiwa istimewa ini di tengah turne tugasnya. Mungkin lokasinya antara Metro- Tanjungkarang atau Pringsewu – Tanjungkarang. Ia berhenti sejenak dan mengabadikan peristiwa ini. Lihat, betapa kooperatifnya para fotomodel dadakan ini. Mereka menghadap kamera dan tersenyum.

Perhelatan pengantin ini tentu saja terjadi di pedesaan bahkan istilah lokalnya umbulan. Kita lihat misalnya para tetangga yang menonton dari kejauhan, di muka rumah-rumah gubug mereka, yang berada di atas gerumbul bukit kecil.

Menarik pula dicermati model pakaian yang dikenakan. Kita bisa melihat Indonesia masa lalu.  Pengantin perempuan mengenakan mahkota yang berbeda dengan model siger zaman sekarang. Blouse berlengan pendek dikenakan di bagian atas melengkapi kain tapisnya. Pengantin lalki-laki mengenakan jas dan dasi, (kain songket ?) menyilang di dadanya.

Dandanan para perempuan pengiring terasa menarik.  Mereka kebanyakan  mengenakan kain kebaya, berkonde dengan selendang yang dikudungkan begitu saja.  Ada juga yang selendang kudungnya diukel ke atas, ini pasti model Sumatera. Model kebanyanya juga ada dua macam. Ada yang model kutu baru dengan setagen, ada pula yang model buju kurung terusan. Beberapa anak-anak perempuan dan gadis muda mengenakan rok. Ada yang melengkapinya kudung pula.

Perhatikan foto tiga gadis kecil itu. Tampaknya ini adalah sebuah ruang kelas. Di latar belakang ada ibu guru berkebaya kutu baru dan berkonde tanpa kudung. Ibu itu pasti dari Jawa. Sekali lagi lihat foto pembawa bendera. Ada beberapa anak laki-laki mengenakan baju yang sama. Mungkinkah anak-anak perempuan tetap di dalam kelas, sementara anak laki-laki boleh membolos sebentar untuk membantu tetangga hajatan ?

Oh, Berasa Indonesia  🙂 !

Monggo dinikmati saja…..

Didahului perarakan bendera

Pengantin laki-laki di antara pengiringnya

Pengantin perempuan dan pengiringnya

Pengantin wanita diapit para wanita pengiringnya

Para tetangga menonton dari kejauhan

Rumah di kampung mereka

Bocah penonton

Pengantin laki-laki

Close up : Pengantin wanita

Stasi Tatakarya, Paroki Murnijaya

MELACAK JEJAK JEMAAT PERDANA WAY ABUNG 

Gereja Stasi Tatakarya, 2015

Buku adalah mesin waktu. Ia mengantar pembaca menerabas sekat-sekat,  menikmati perjumpaan dengan peristiwa dan orang-orang dari ruang dan masa yang berbeda. Berbekal buku berjudul Th. Bosrt SCJ, Aotubiografi Seorang Misionaris, saya mencoba melacak jejak para pemula di stasi Tatakarya.

Sekarang Tatakarya merupakan salah satu stasi Paroki Murnijaya (sebelumnya disebut Dayamurni). Sesungguhnya tempat ini adalah titik awal di mana benih iman Katolik tumbuh di wilayah Way Abung.  Di sini pula untuk pertama kalinya seorang pastor, Martinus van Ooij SCJ tinggal menetap untuk melayani umat. Sebelumnya Romo Borst disusul para pastor yang lain, melayani dari paroki Kotabumi. Romo van Ooij pula yang pada tahun 1982 memulai pembangunan  pusat paroki di Murnijaya karena tempat terakhir ini terletak di tengah-tengah dan dipandang lebih bisa memberi harapan untuk berkembang.

Dengan diantar oleh Yohanes Parijo,63, saya menziarahi perjalanan Rm Borst di Tatakarya dan sekitarnya. Ia juga seorang mantan katekis yang bermukim di wilayah ini sejak 1975, sehingga bisa menjadi narasumber ketika saya kehilangan missing link antarperistiwa. Perjalanan saya tentu tidak dengan  jeep tua diselingi jalan kaki menembus alang-alang setinggi orang seperti Romo Bosrt dulu.

Berikut narasi Romo Borst yang saya sadur secara agak bebas agar bahasanya menjadi aktual tanpa mengubah maknanya.

“Tahun 1965 saya dengar akan dibuka transmigrasi baru, Way Abung I dan II, ± 25 km dari Kotabumi. Jalannnya masih dapat ditempuh dengan mobil. “Lahan baru” ini sama sekali tidak berarti. Belum ada seorang katolik di sini. Sdr. Muhadi menerima saya dalam gubuknya. Sewaktu sekolah ia pernah menjadi katekumen dan ingin melanjutkan pelajaran agama” – halaman 69. 

Romo Theodorus Borst, SCJ

Dalam catatan itu rupanya Romo Bosrt pun tidak bisa banyak berharap. Proyek transmigrasi Way Agung I dan II lebih merupakan rintisan dan gugur prematur. Pemukiman yang semula diangankan meliputi lahan yang luas di timur laut Kotabumi itu mangkrak karena meletusnya peristiwa G30S. Sekitar Agustus 1965 pemerintah  telah mengirim beberapa angkatan trasnmigran ke dua desa yaitu Tatakarya dan Purbasakti. Selanjutnya proyek terhenti. Proyek transmigrasi Way Abung baru dimulai kembali sesudah tahun 1970.

Pak Muhadi yang dicacat Rm. Bosrt dalam bukunya, masih bisa ditemui dan mampu mengingat dengan baik peristiwa lima puluh tahun lampau itu. Ia adalah salah satu dari 49 keluarga peserta transmigrasi umum angkatan pertama yang dimukimkan di wilayah ini. Yulius Lilik Argo Reni Muhadi, 76, bersama isternya Lucia Sudarni, 77, tiba Tatakarya – dulu disebut Proyek Rukti – pada Agustus 1965. “Dulu dari Jawa dijanjikan bahwa tujuan kami itu Belitang. Tetapi entah mengapa kami diturunkan di sini,” katanya. Tanah yang dijanjikan pemerintah hanyalah hutan sekunder, belukar dan rawa-rawa. Tak ada bantuan apapun dari pemerintah untuk mengolahnya, bahkan untuk bertahan hidup.

Selama seminggu mereka ditumpangkan di rumah keluarga orang Lampung asli di desa Surakarta. Kemudian para pemukim baru tersebut diperintahkan membuat bedeng di desa Bandar Abung (dulu bernama kampung Ajan). Kepada mereka juga ditunjukkan kawasan akan dijadikan kampung pemukiman mereka nantinya, masing-masing kepala keluarga mendapat ¼ hektare yanng harus dibuka sendiri.

Muhadi menginngat betapa sulitnya awal kehidupan mereka di sini. Dari 49 KK akhirnya hanya tersisa 13 KK saja yang bertahan di sini. Hidup menjadi lebih sulit ketika pecah tragedi September 1965. Proyek transmigrasi Way Abung terhenti. Para staf unit transmigrasi tak pernah muncul lagi. Untuk bertahan hidup para transmigran bekerja semampunya, buruh kepada penduduk  Lampung asli untuk mendapatkan upah bahan makanan. Kadang mereka pergi ke hutan atau rawa mencari apapun yang bisa menopang hidup.

Suatu hari di tahun 1966 Muhadi pergi ke hutan. Di rumah hanya ada isterinya dan dua anaknya yang masih kecil. Tiba-tiba Romo Borst yang dikawal dua tentara dari Kodim muncul di gubuk mereka. “Saya berkata ‘Berkah dalem Romo’ sambil saya salami dan persilakan masuk,” kata Sudarni, isteri Muhadi. Pasutri ini pernah menjadi katekumen di Jawa. Bahkan ke tanah rantau ini mereka membawa rosario dan buku Padupan Kencana. Pada kunjungan Romo Borst yang ke-3 keluarga kecil ini dibaptis tanpa proses katekumenat lagi.

Sesudah itu ada sekitar 27 KK yang berminat mengikuti pelajaran agama di Tatakarya. Romo Borst mengutus Darjono, katekis pembantu dari Propan untuk mengajar para magangan. Tahun 1967 mereka membangun gereja sederhana, berdinding papan dan beratap welit, di atas tanah jatah transmigrasi yang diberi nama Gereja Sang Timur. Misa sebulan sekali dapat dilaksanaan di gereja setelah sebelumnya dilaksanakan di rumah-rumah umat. Kalau tak ada misa diselenggarakan ibadat sabda dipimpin oleh Muhadi.

Yulius Lilik Argo Reni Muhadi dan Lucia Sudarni

“Suatu saat datang seseorang dari Purbasakti meminta Romo rawuh. (dari Tatakarya) ke tempat itu belum ada jalan, tetapi dapat ditempuh melalui alang-alang. Ketika saya menuju ke sana, ternyata lupa petunjuk  jalannya, tetapi akhirnya sampai juga setelah bertemu beberapa orang, salah seorang di antaranya guru. Saya berjanji akan datang lagi berkunjung bila ke Tatakarya. “ – halaman 70.

Petrus Matyani adalah guru yang dijumpai oleh Romo Bosrt di Purbasakti pada tahun 1966 itu. Ia adalah transmigran gelombang pertama di Purbasakti, hampir bersamaan dengan kedatangan transmigran di Rukti. Ada sekitar 25 KK yang bersedia mengikuti plejaran agama di sini. Tahun 1967 mereka mendirikan gereja di pekarangan H. Mulyodiharjo. Tahun 1970 kapel itu dipipindahkan dekat sekolah tamansiswa dan pada 1981 dibangun permanen di lokasi sekarang, di muka rumah keluarga Matyani.

Di antara Tatakarya dan Purbasakti ada kampung orang asli Lampung bernama Surakarta. Di tempat inilah dulu, para tarnsmigran sementara waktu ditumpangkan.

“… Pulang ke rumah, di Surakarta, kampung orang asli, tiba-tiba mobil saya dihentikan oleh seorang anak, Cyrius namanya. Bapak Simpson seorang guru, mempersilahkan saya mampir. Keluarga ini kemudian menjadi Katolik dan menyediakan tempatnya untuk mendirikan gereja.” – halaman 70.

Keluarga Simpson Simbolon semula penganut Protestan. Karena tak menemukan anggota jemaat yang lain mereka kemudian bergabung dengan gereja Katolik. Selain mereka ada tiga keluarga katolik di surakarta yang mengikuti mereka bergaung dalam gereja Katolik. Jadi sebelum tahun 1970 ada 3 gereja di wilayah Way Abung, yaitu Tatakarya, Purbasakti dan Surakarta. Tetapi pusatnya tetap di Tatakarya.

Proyek Way Abung kemudian terhenti. Baru diteruskan sesudah tahun 1970.  “Di Tatakarya dan Purbasakti tak ada lagi penempatan transmigran dalam skala besar. Paling-paling hanya trasmigrasi lokal atau spontan, itupun di areal yang sangat terbatas,” demikian ditambahkan oleh Parijo. Pertumbuhan jemaat Katolik pun surut karena berbagai sebab.

Tetapi sebaliknya di wilayah Way Abung yang lain dibuka pemukiman secara masif. Dimulai dari Dayasakti, Dayamurni dan seterusnya. Akhir dekade 1970-an jalan tembus dari arah Terbanggi Besar mulai dirintis, sehingga tak lagi harus memutar melewati Kotabumi. Desa dan kota kecil mulai berkembang hingga kini, begitu juga jemaat Katolik.

Mengakhiri tulisan ini perkenankan saya kembali menyadur Romo Borst.

Mereka (jemaat Katolik) menjadi terang dunia hendaknya. Kehidupan Kristiani hendaknya membawa kebahagiaan kepada orang yang belum mengenal dan mencintai Yesus. Gereja katolik berkembang, tetapi tiada akan selesai dalam perutusannya di dunia. “ – halaman 87.

Requiescat in pace Romo Borst. 

Bocah-bocah Way Abung

Yohanes Parijo